I'm your huckleberry

though i can't change the world, i can always change myself. btw: tolong bantu Panti Asuhan Bustanul Aitam (http://ulim-orphan.blogspot.com/ ). Bank BRI, Unit Meureudu, Cabang Sigli, Aceh, Indonesia// Account Number: 3970.01.002291.53-4// On behalf of: Yayasan Bustanul Aitam// Swift Code: BRINIDJA. Contact: Ilyas Ibrahim S.AG, mobile: +62-(0)81362672600

Saturday, December 31, 2005

Ganja Sebagai Bumbu??

Sebagai orang Aceh, dalam perjalanan saya ke berbagai daerah, ketika makan selalu timbul pertanyaan dari teman2: “Katanya di Aceh ganja digunakan sebagai bumbu masakan?”

Saya biasa balik bertanya:
  • Apa anda pernah makan masakan Aceh yg pakai bumbu ganja?

  • Apa teman kamu yang bercerita menyatakan pernah makan masakan Aceh yg pakai bumbu ganja?
Dan saya tahu pasti jawaban yg diberikan adalah “tidak” dilanjutkan: “katanya”...ya...hanya “katanya”.

Di Indonesia ini saya sudah dengar banyak “katanya”. Katanya indonesia kaya raya, kolam susu, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Kok penghasilan per kapita rendah aka miskin terus ya???

===
Lihat link berikut mengenai “katanya” ganja sebagai bumbu:

Kalau masakan Aceh biasanya suka dikasih campuran ganja sedikit. Katanya kalau di Aceh, ganja memang dipakai sebagai campuran bumbu masak, apalagi kalau gulai kepala ikan. (Dunia Ibu).

Mi Aceh yang Pakai "Tuâ" (Kompas Kamis, 21 Juli 2005).

Ini lebih netral, “Ada Ganja dalam Masakan Aceh?“ (Kompas, Sabtu 23 Juli 2005).
===

Pendukung teori ganja sebagai bumbu masakan umumnya hanya berpegang pada “katanya”, tidak ada yg bisa menunjukkan bukti apa pun. Sayang “katanya” itu sudah menjadi kebenaran yg diterima apa adanya oleh orang-orang bodoh yg mendominasi negri lemot ini, mulai dari yg tidak berpendidikan, sampe yg punya gelar Doktor (spt Hamzah Haz itu), mulai yg pegawai kecil, ampe pejabat tinggi. Semuanya hanya “katanya” (pantas ini negri nggak bergerak kemana-mana, dikira masalah bisa selesai dengan “katanya”).

Seingat saya, pernyataan ganja sebagai bumbu masak di Aceh dilontarkan oleh Prof. Ali Hasjmi, mantan Gubernur Aceh & juga mantan ketua MUI Aceh. Ucapan itu muncul pertengahan 80-an or awal 90-an, ketika berita suburnya ganja di Aceh semakin top.

Sebagian besar orang Aceh memandang Ali Hasjmi (AH) sbg seorang tokoh. Bagi saya, beliau seorang penokoh rakyat Aceh. Mengapa? Tulisan sejarah beliau terlalu banyak yg dipelintir. AH juga cenderung menulis tentang Aceh dan orang Aceh sebagai makhluk yg tidak ada cela, tidak mungkin salah. Semua yg berbau Aceh hanya ada baiknya! So ketika masalah banyaknya ganja di Aceh mendapat sorotan nasional, AH mencari pembenaran dengan menyatakan ganja adalah bumbu masakan.

Apa dia punya bukti sejarah? Tantangan sama bagi yg menyatakan ganja adalah bumbu, apa kalian bisa menunjukkan bukti sejarah kepada saya?

Mari kita lihat!

Orang Eropa yg paling top mengenai sejarah & kebudayaan Aceh adalah Snouck Hurgronje (SH), dengan maha karya “De Atjehers” (sudah diterjemahkan dalam bhs Inggris dan Indonesia. Terjemahan Indonesia diterbitkan Balai Pustaka). Dalam buku paling top tentang Aceh itu, SH menggambarkan berbagai hal terkait dengan orang Aceh, mulai bangun tidur, makan, kerja, ibadah, sampe tidur lagi. Juga ada perayaan2, kepercayaan, dsb-nya. Termasuk didalam buku itu dibahas berbagai bumbu yang digunakan dalam masakan Aceh dan info obat2-an tradisional. Tapi tidak ada satu pun yang menyatakan bahwa ganja (mariyuana or kanabis) digunakan sebagai bumbu. Menariknya, dalam rangka merendahkan orang Aceh, SH menyatakan bahwa orang Aceh juara madat (hisap candu) berhubung konsumsi candu per kapita orang Aceh jauh diatas rata2 konsumsi pe kapita nusantara.

Bila SH dengan sangat berlebihan menunjukkan hobi madat untuk merendahkan orang Aceh, mengapa dia luput memperhatikan kebiasaan pake ganja?? Apa SH kurang teliti?? Tapi dia mendaftar bumbu2 yg dipakai di Aceh. Apa SH belum kenal ganja? (tanya: ganja dikenal mulai tahun berapa sih di Eropa??). Atau memang pada saat itu ganja belum popular di Aceh?

Ahli ilmu sosial akan bilang, ya meskipun tidak ada bukti empiris/tertulis yg kuat, coba gali cerita dari mulut ke mulut. Okay, saya kembali bertanya, pernah nggak anda2 pendukung teori ganja sbg bumbu masak check cerita2 tsb ke orang2 tua?

Lagi2, krn faktor malas dan kebodohan, pasti jawabannya: TIDAK!

Waktu saya masih tinggal dan jalan ke berbagai daerah di Aceh (khususnya tahun 1990-1994), saya selalu meluangkan waktu untuk bertanya tentang hal ini. Apalagi waktu itu Daerah Operasi Militer (DOM) sedang berlangsung, dimana berita ganja di Aceh sangat rajin dihembuskan oleh TNI/Polri dan media2 nasional sbg antek Orba.

Hal yg saya temukan, pernyataan bahwa ganja sbg bumbu masakan ternyata muncul dari generasi yg lahir setelah 1950-an, ya mereka yg besar di tahun 60&80-an. Contohnya ya Ibu, Makcik, dan Miwa saya, juga beberapa orang lain yg segenerasi. Nenek saya (dari pihak Ibu or Ayah, or nenek angkat) semua menyatakan tidak memakai ganja dalam masakannya. Demikian juga pernyataan beberapa kakek/nenek yg saya temui sepanjang perjalanan saya dari Lhok Seumawe, Bireuen, Samalanga, Meureudu, Sigli, Banda Aceh, terus ke Meulaboh, & Tapaktuan.

Karena pernyataannya saling berbeda, maka ada yg bohong. Entah yg generasi Ibu/Makcik/Miwa, or Kakek/Nenek. Tapi kalau melihat sikap orang2 generasi setelah 1950-an suka pakai “katanya“, saya lebih percaya generasi kakek/nenek saya.

Kalau ditanya ke restoran yg top di Aceh pun, tidak ada yg bilang mereka pakai ganja dalam masakan. Boleh jadi mereka juga bohong. Yg jelas kalau anda tanya ke si juru masak dan dia tahu anda pendatang yg sedang nyari masakan pakai ganja, paling dijawab “Coba saja sendiri“, dengan senyum penuh tanda rahasia.

Bagi pedagang, itu jawaban rasional untuk menjual produknya. Apa mau anda calon pembeli pindah ke puluhan keude gule sie kameng (gule daging kambing) lain di sepanjang jalan di Aceh???

Nah kalau si penanya menyimpulkan bahwa itu masakan benar mengandung ganja, saya kira karena dia bodoh saja. Jump into conclusion fallacy!

Ada yg bilang, itu di resto Medan Baru (krekot bunder, Jakarta) ada yg jual “Sambel Ganja”. Well, lagi2 ketololon yg berlebihan. “Sambel Ganja”, di Aceh dikenal sebagai Asam Udeung (Asam Udang), dibuat dari: asam belimbing, udang direbus setengah masak, daun jeruk nipis (diiris2), dan sedikit sereh. Satu piring kecil modalnya nggak sampe seribu. Kalau dipakai judul “Asam Udang”, sumpah paling mahal cuma laku Rp 3,000/porsi. Kalau pakai judul “Sambel Ganja”, orang2 bodoh yg punya duit akan beli pada harga Rp 5,000-8,000/ porsi (dgn isi sktr 3~4 sendok makan). Dan setiap orang bisa makan sampe 2 porsi.

Kalau anda pedagang, pilih mana jual pada harga murah or mahal?

Bagaimana saya percaya pendapat pendukung teori ganja sebagai bumbu masak, membedakan irisan daun jeruk dengan daun ganja dalam sambel udang saja tidak bisa!

Bukti2 lain tentang katanya ganja sebagai bumbu masak berasal dari perasaan yg muncul sedang/ setelah makan: tidak kenyang2, mengantuk, dada berdebar, pusing, dll. Well, dengan lemak kiloan di sekitar perut dan pantat anda yg malas, wajar anda mengantuk terus, baik saat lapar mau pun kenyang. Dasar lu orang malas. Kepala pusing dan dada berdebar?? Apa yg diharapkan setelah makan berbagai lemak dan kolesterol dalam masakan Aceh? Badan jadi lebih fit???

Masakan Aceh sangat dipengaruhi oleh masakan India (berbagai kari; dari kambing, ikan, ayam, apalagi kari daging ikan Hiu). Ganja juga istilah India. Karena itu saya juga tanya kebiasaan pakai ganja di Asia bagian selatan kepada seorang peneliti yg lama tinggal di India, Banglades, Pakistan, dan sekitar. Dia juga penikmat kari. Dia bilang, di Nepal ada lassi yg pakai ganja. Tapi itu juga biasanya dijual untuk orang2 bule yg mencari sesuatu yg eksotis.

Well, repot nih jadinya. Memang ganja udah dikenal dalam berbagai masyarakat, tapi saya masih ragu ganja adalah bumbu masakan di Aceh. Karena kurangnya bukti, yg ada adalah penyataan “katanya” dari generasi yg besar di tahun setelah 1960-an, masa ganja popular bersama the Doors, Led Zeppelin, Black Sabbath, dll (check out “Sweet Leaf“ - Black Sabbath). Pada saat bersamaan muncul buku2 yg mempromosikan ganja sebagai bumbu masakan, misal Adam Gottlieb’s, “Art and Science of Cooking with Cannabis(High Times / Level Press, 1974).

Menurut saya, era 70-an ini lah ide2 tentang ganja berkembang pesat. Di Aceh, ide2 ganja ini berkembang, kebetulan, sejalan dengan operasi militer 1976-1982, 1989-1990-an. Dan bukan kebetulan bila ganja bisa bebas keluar Aceh karena keterlibatan oknum TNI/Polri, atau minimal: TNI/Polri tidak bertugas dengan baik, hanya malas2-an dan makan gaji buta.

Saran saya buat pejabat/tokoh Aceh: jangan membenarkan keberadaan ganja di Aceh dgn mitos ganja sebagai bumbu masak. Pejabat/tokoh Aceh harus berani menunjukkan mengapa ganja melimpah ruah di Aceh, yaitu lemahnya kemauan TNI/Polri menegakkan hukum! Boleh anda bilang ganja ditanam diam2, dirahasiakan dari aparat TNI/Polri. Tapi ingat, kayu haram dari Aceh juga bebas keluar ke Sumut di depan mata TNI/Polri. Lagi2 masalah kemauan menegakkan hukum!

Dan jangan anda urus masalah ganja di negri jauh entah dimana, di Jakarta di setiap pojok jalan orang bebas jualan narkoba. Pakai istilah “katanya“ lebih mudah beli pil koplo/ ekstasi daripada obat sakit kepala.

2 Comments:

At 10:31 AM, Blogger Pengalaman di Adsense said...

Saya senang baca dialog di blogmu. By writer of 40 Hari Di Tanah Suci.

 
At 1:48 PM, Anonymous Anonymous said...

Perlu diingat, yg dipakai sebagai bumbu masakan bukanlah daun ganja, melainkan biji ganja, dan sebagai orang Aceh, saya mengatakan bahwa hal ini benar. Penelitian sekarang pun menyebutkan klo biji ganja bagus sebagai campuran makanan, di Jepang sampe saat ini pemakaian biji ganje sebagai bumbu di legalkan. Seandainya ga ada orang bodoh yg memakai daun ganja dengan cara dibakar, sampe sekarangpun biji ganja masih bisa dipakai untuk bumbu.

 

Post a Comment

<< Home