nulis di koran aja jiplak
waktu masih ngajar (1996-2005), ke mahasiswa saya sering bilang:
- nyontek boleh, asal tidak ketahuan.
- kalau nyontek aja nggak becus, bisa apa kalian (mahasiswa)???
nah kalau dosen nggak becus nyontek, itu baru lucu.
lebih lucu lagi, yang dicontek tulisan koran.
dan dipublikasikan di koran dimana saya beberapa kali nulis & diinterview.
benar2 nekad tuh dosen.
Lihat tulisan "Menggugat Ramuan Penangkal Inflasi" dari bapak Agus Suman (Dosen Univ. Brawijaya) - Bisnis Indonesia, Kamis, 28 Agustus 2008 (lihat di:
http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/opini/1id76176.html ).
Waktu saya baca, terasa beberapa bagian tulisannya sangat familiar dengan kata2 saya di tulisan "Moneter AS dan Inflasi Global" (Harian Kontan, Senin 11 Agustus 2008, http://www.kontan.co.id/ , tulisan terlampir).
Ternyata....
terlampir perbandingannya.
Bapak Agus Suman:
"...seperti China dan India, yang selama ini ekonominya tumbuh cepat tanpa disertai inflasi tinggi, mulai kesulitan mengendalikan inflasi. Inflasi di China dan India masing-masing 8,5% dan 7,7%, tertinggi dalam 10 tahun terakhir."
Siswa Rizali:
"...seperti Cina dan India, yang selama ini ekonominya tumbuh cepat tanpa disertai inflasi tinggi, mulai kesulitan mengendalikan inflasi. Inflasi di Cina dan India masing-masing 8.5% dan 7.7%, tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir."
Pak Agus Suman:
"Inflasi yang terjadi saat ini adalah fenomena global."
Siswa Rizali:
"Inflasi sekarang ini merupakan fenomena global."
Pak Agus Suman:
"... negara kecil yang sangat terbuka terhadap ekonomi dunia seperti Singapura. Singapura biasanya berhasil dalam mengendalikan harga meskipun terjadi guncangan ekonomi dunia. Sejak 1983, inflasi di Singapura hampir selalu di bawah 2%, kecuali pada periode 1990-1994 yang sempat berkisar 3%. Sekarang inflasi Singapura mencapai 7,5%."
Siswa Rizali:
"... negara kecil yang sangat terbuka terhadap ekonomi dunia seperti Singapura. Singapura biasanya berhasil dalam mengendalikan harga meskipun terjadi guncangan ekonomi dunia. Sejak 1983 inflasi di Singapura hampir selalu dibawah 2%, kecuali pada periode 1990-1994 yang sempat berkisar 3%. Sekarang inflasi Singapura mencapai 7.5%."
dulu cuma dengar2 kalo ada dosen yg suka ngumpulin karya tulis mahasiswa buat jadi karya ilmiah guna mengejar posisi Profesor.
sekarang baru tahu caranya yg ternyata sangat culun. Sang dosen bakal jadi Profesor by Honor (alias honor nulis koran dah cukup buat acara pesta pengangkatan jadi guru besar).
Ada-ada aja, nulis di koran pun masih jiplak dari tulisan koran lain :-p
Oooohhhh pendidikan Indonesia....
salam,
rz
Moneter AS dan Inflasi Global
oleh Siswa Rizali
Tekanan inflasi sampai bulan Juli 2008 tetap tinggi, dimana inflasi tahunan mencapai 11.90% dan inflasi tahun berjalan menjadi 8.85%. BI Rate pun naik menjadi 9.00%. Siklus kenaikan BI Rate ini diperkirakan masih berlanjut.
Inflasi Global
Kenaikan inflasi terjadi merata di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, yang dilanda krisis finansial dan perlambatan pertumbuhan ekonomi, inflasi mencapai 5%. Tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Inflasi di wilayah Euro, yang secara ketat mengikuti target inflasi maksimal 2%, telah mencapai 4%. Jepang, yang pada periode 1999-2005 selalu dalam bayangan deflasi, sekarang mengalami lonjakan inflasi menjadi 2%.
Negara sedang berkembang seperti Cina dan India, yang selama ini ekonominya tumbuh cepat tanpa disertai inflasi tinggi, mulai kesulitan mengendalikan inflasi. Inflasi di Cina dan India masing-masing 8.5% dan 7.7%, tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir.
Menarik juga memperhatikan inflasi negara kecil yang sangat terbuka terhadap ekonomi dunia seperti Singapura. Singapura biasanya berhasil dalam mengendalikan harga meskipun terjadi guncangan ekonomi dunia. Sejak 1983 inflasi di Singapura hampir selalu dibawah 2%, kecuali pada periode 1990-1994 yang sempat berkisar 3%. Sekarang inflasi Singapura mencapai 7.5%.
Gambaran perkembangan inflasi diatas dengan akselerasi pada semester pertama 2008 menunjukkan bahwa inflasi sekarang ini bukan hanya masalah spesifik sebuah negara. Inflasi sekarang ini merupakan fenomena global.
Inflasi tinggi saat ini didominasi oleh kenaikan harga-harga komoditas, khususnya sektor energi (seperti minyak, gas, dan batubara) dan sektor pertanian (seperti gandum, beras, jagung, dan minyak nabati). Guncangan pada sisi produksi terkait dengan bahan baku industri mempunyai dampak berantai pada biaya produksi barang-barang lain. Fenomena ini dikenal sebagai inflasi akibat kenaikan biaya produksi (cost push inflation).
Lonjakan tajam permintaan di era pertumbuhan tinggi ekonomi dunia 2003-2007, khususnya dari negara industri baru seperti Cina dan India, juga dianggap menyebabkan kenaikan harga-harga komoditas. Sebagai gambaran, hampir 40% pertumbuhan permintaan minyak dunia era 2000-an berasal dari pertumbuhan konsumsi minyak Cina.
Sejalan dengan semakin ekstrimnya kenaikan harga-harga komoditas sepanjang akhir 2007 sampai pertengahan 2008, faktor permintaan dan penawaran sektor riil tidak dapat lagi menjelaskan fenomena tersebut. Banyak pihak – seperti politisi, pemerintah, dan komentator –
menyalahkan kenaikan harga-harga akibat spekulasi di pasar berjangka komoditas.
Dari berbagai faktor penyebab inflasi, seperti interaksi permintaan–penawaran dan spekulasi, jarang sekali disebut faktor kebijakan moneter. Hal ini sangat aneh mengingat semua sejarah inflasi tinggi dan gelembung harga aset (saham, properti, dan harga komoditas) selalu disertai kebijakan moneter yang longgar.
Fenomena Moneter
Kebijakan moneter longgar ini terjadi sejak pertengahan 2007. Untuk mengatasi krisis finansial, Bank Sentral Amerika menurunkan Fed Fund Rate secara agresif, dari 5.25% pada Agustus 2007 menjadi 2.00% pada April 2008. Salah satu akibatnya adalah depresiasi tajam Dollar Amerika sepanjang periode Juni 2007 sampai April 2008, yaitu sekitar 18.5% terhadap Euro dan 21% terhadap Yen.
Sejalan dengan melemahnya Dollar Amerika, investor mencoba melindungi nilai aset/investasinya dengan membeli kontrak-kontrak komoditas. Maka harga-harga komoditas naik tajam meskipun permintaan sektor riil sebenarnya menurun sejalan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Berhubung sebagian besar perdagangan dunia menggunakan denominasi Dollar Amerika, penurunan daya beli Dollar mememicu inflasi global.
Pada saat ekonomi stabil, kebijakan moneter longgar tidak segera memicu inflasi karena penambahan likuiditas akan diimbangi dengan kenaikan permintaan likuiditas. Tapi di saat krisis, penambahan likuiditas meningkatkan ekspektasi krisis lanjutan. Permintaan uang turun dan spekulasi pada aset meningkat. Kebijakan moneter longgar tidak menyelesaikan masalah krisis finansial Amerika, tapi memicu krisis baru berupa bahaya inflasi tinggi.
Gelembung harga aset yang dipicu kebijakan moneter longgar terlihat pada periode akhir 1990-an pada saham sektor teknologi dan pada periode 2000-2006 di sektor perumahan. Saat ini tema pertumbuhan negara BRIC (Brazil, Rusia, India, dan Cina) dan booming komoditas menjadi target banjir likuiditas dari Amerika.
Inflasi di Indonesia saat ini adalah bagian fenomena global sebagai efek negatif kebijakan moneter longgar dari Amerika. Karena itu kenaikan BI Rate tidak akan efektif untuk memerangi inflasi. Lebih baik Bank Indonesia tidak melanjutkan kenaikan BI Rate. Apalagi kenaikan BI Rate hanya menambah beban pada ekonomi domestik dan memancing banjir aliran dana spekulatif jangka pendek.
Inflasi global akan mereda bila Amerika mulai menerapkan kebijakan moneter ketat dengan menaikkan Fed Fund Rate, minimal menjadi 4.00%. Kebijakan uang ketat terbukti efektif meredam spekulasi pada harga-harga aset. Pengetatan likuiditas di Amerika pada periode 2004-2006 menyebabkan pecahnya gelembung aset sektor properti. Sejak Q3 2007, pengetatan likuiditas di Cina telah membuat gelembung harga saham terpangkas sekitar 55%. Terakhir, kenaikan suku bunga Bank Sentral Euro menjadi 4.25% pada 3 Juli membantu meredam spekulasi di sektor komoditas.
Kami yakin Bank Sentral Amerika akhirnya terpaksa menerapkan kebijakan uang ketat dan menaikkan Fed Fund Rate. Baru lah inflasi global terkendali sejalan mengempisnya gelembung harga komoditas. Jangan heran bila harga minyak pun kembali jatuh di bawah US$ 100 per barel.