Wednesday, September 03, 2008
Friday, August 29, 2008
nulis di koran aja jiplak
waktu masih ngajar (1996-2005), ke mahasiswa saya sering bilang:
- nyontek boleh, asal tidak ketahuan.
- kalau nyontek aja nggak becus, bisa apa kalian (mahasiswa)???
nah kalau dosen nggak becus nyontek, itu baru lucu.
lebih lucu lagi, yang dicontek tulisan koran.
dan dipublikasikan di koran dimana saya beberapa kali nulis & diinterview.
benar2 nekad tuh dosen.
Lihat tulisan "Menggugat Ramuan Penangkal Inflasi" dari bapak Agus Suman (Dosen Univ. Brawijaya) - Bisnis Indonesia, Kamis, 28 Agustus 2008 (lihat di:
http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/opini/1id76176.html ).
Waktu saya baca, terasa beberapa bagian tulisannya sangat familiar dengan kata2 saya di tulisan "Moneter AS dan Inflasi Global" (Harian Kontan, Senin 11 Agustus 2008, http://www.kontan.co.id/ , tulisan terlampir).
Ternyata....
terlampir perbandingannya.
Bapak Agus Suman:
"...seperti China dan India, yang selama ini ekonominya tumbuh cepat tanpa disertai inflasi tinggi, mulai kesulitan mengendalikan inflasi. Inflasi di China dan India masing-masing 8,5% dan 7,7%, tertinggi dalam 10 tahun terakhir."
Siswa Rizali:
"...seperti Cina dan India, yang selama ini ekonominya tumbuh cepat tanpa disertai inflasi tinggi, mulai kesulitan mengendalikan inflasi. Inflasi di Cina dan India masing-masing 8.5% dan 7.7%, tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir."
Pak Agus Suman:
"Inflasi yang terjadi saat ini adalah fenomena global."
Siswa Rizali:
"Inflasi sekarang ini merupakan fenomena global."
Pak Agus Suman:
"... negara kecil yang sangat terbuka terhadap ekonomi dunia seperti Singapura. Singapura biasanya berhasil dalam mengendalikan harga meskipun terjadi guncangan ekonomi dunia. Sejak 1983, inflasi di Singapura hampir selalu di bawah 2%, kecuali pada periode 1990-1994 yang sempat berkisar 3%. Sekarang inflasi Singapura mencapai 7,5%."
Siswa Rizali:
"... negara kecil yang sangat terbuka terhadap ekonomi dunia seperti Singapura. Singapura biasanya berhasil dalam mengendalikan harga meskipun terjadi guncangan ekonomi dunia. Sejak 1983 inflasi di Singapura hampir selalu dibawah 2%, kecuali pada periode 1990-1994 yang sempat berkisar 3%. Sekarang inflasi Singapura mencapai 7.5%."
dulu cuma dengar2 kalo ada dosen yg suka ngumpulin karya tulis mahasiswa buat jadi karya ilmiah guna mengejar posisi Profesor.
sekarang baru tahu caranya yg ternyata sangat culun. Sang dosen bakal jadi Profesor by Honor (alias honor nulis koran dah cukup buat acara pesta pengangkatan jadi guru besar).
Ada-ada aja, nulis di koran pun masih jiplak dari tulisan koran lain :-p
Oooohhhh pendidikan Indonesia....
salam,
rz
Moneter AS dan Inflasi Global
oleh Siswa Rizali
Tekanan inflasi sampai bulan Juli 2008 tetap tinggi, dimana inflasi tahunan mencapai 11.90% dan inflasi tahun berjalan menjadi 8.85%. BI Rate pun naik menjadi 9.00%. Siklus kenaikan BI Rate ini diperkirakan masih berlanjut.
Inflasi Global
Kenaikan inflasi terjadi merata di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, yang dilanda krisis finansial dan perlambatan pertumbuhan ekonomi, inflasi mencapai 5%. Tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Inflasi di wilayah Euro, yang secara ketat mengikuti target inflasi maksimal 2%, telah mencapai 4%. Jepang, yang pada periode 1999-2005 selalu dalam bayangan deflasi, sekarang mengalami lonjakan inflasi menjadi 2%.
Negara sedang berkembang seperti Cina dan India, yang selama ini ekonominya tumbuh cepat tanpa disertai inflasi tinggi, mulai kesulitan mengendalikan inflasi. Inflasi di Cina dan India masing-masing 8.5% dan 7.7%, tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir.
Menarik juga memperhatikan inflasi negara kecil yang sangat terbuka terhadap ekonomi dunia seperti Singapura. Singapura biasanya berhasil dalam mengendalikan harga meskipun terjadi guncangan ekonomi dunia. Sejak 1983 inflasi di Singapura hampir selalu dibawah 2%, kecuali pada periode 1990-1994 yang sempat berkisar 3%. Sekarang inflasi Singapura mencapai 7.5%.
Gambaran perkembangan inflasi diatas dengan akselerasi pada semester pertama 2008 menunjukkan bahwa inflasi sekarang ini bukan hanya masalah spesifik sebuah negara. Inflasi sekarang ini merupakan fenomena global.
Inflasi tinggi saat ini didominasi oleh kenaikan harga-harga komoditas, khususnya sektor energi (seperti minyak, gas, dan batubara) dan sektor pertanian (seperti gandum, beras, jagung, dan minyak nabati). Guncangan pada sisi produksi terkait dengan bahan baku industri mempunyai dampak berantai pada biaya produksi barang-barang lain. Fenomena ini dikenal sebagai inflasi akibat kenaikan biaya produksi (cost push inflation).
Lonjakan tajam permintaan di era pertumbuhan tinggi ekonomi dunia 2003-2007, khususnya dari negara industri baru seperti Cina dan India, juga dianggap menyebabkan kenaikan harga-harga komoditas. Sebagai gambaran, hampir 40% pertumbuhan permintaan minyak dunia era 2000-an berasal dari pertumbuhan konsumsi minyak Cina.
Sejalan dengan semakin ekstrimnya kenaikan harga-harga komoditas sepanjang akhir 2007 sampai pertengahan 2008, faktor permintaan dan penawaran sektor riil tidak dapat lagi menjelaskan fenomena tersebut. Banyak pihak – seperti politisi, pemerintah, dan komentator –
menyalahkan kenaikan harga-harga akibat spekulasi di pasar berjangka komoditas.
Dari berbagai faktor penyebab inflasi, seperti interaksi permintaan–penawaran dan spekulasi, jarang sekali disebut faktor kebijakan moneter. Hal ini sangat aneh mengingat semua sejarah inflasi tinggi dan gelembung harga aset (saham, properti, dan harga komoditas) selalu disertai kebijakan moneter yang longgar.
Fenomena Moneter
Kebijakan moneter longgar ini terjadi sejak pertengahan 2007. Untuk mengatasi krisis finansial, Bank Sentral Amerika menurunkan Fed Fund Rate secara agresif, dari 5.25% pada Agustus 2007 menjadi 2.00% pada April 2008. Salah satu akibatnya adalah depresiasi tajam Dollar Amerika sepanjang periode Juni 2007 sampai April 2008, yaitu sekitar 18.5% terhadap Euro dan 21% terhadap Yen.
Sejalan dengan melemahnya Dollar Amerika, investor mencoba melindungi nilai aset/investasinya dengan membeli kontrak-kontrak komoditas. Maka harga-harga komoditas naik tajam meskipun permintaan sektor riil sebenarnya menurun sejalan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Berhubung sebagian besar perdagangan dunia menggunakan denominasi Dollar Amerika, penurunan daya beli Dollar mememicu inflasi global.
Pada saat ekonomi stabil, kebijakan moneter longgar tidak segera memicu inflasi karena penambahan likuiditas akan diimbangi dengan kenaikan permintaan likuiditas. Tapi di saat krisis, penambahan likuiditas meningkatkan ekspektasi krisis lanjutan. Permintaan uang turun dan spekulasi pada aset meningkat. Kebijakan moneter longgar tidak menyelesaikan masalah krisis finansial Amerika, tapi memicu krisis baru berupa bahaya inflasi tinggi.
Gelembung harga aset yang dipicu kebijakan moneter longgar terlihat pada periode akhir 1990-an pada saham sektor teknologi dan pada periode 2000-2006 di sektor perumahan. Saat ini tema pertumbuhan negara BRIC (Brazil, Rusia, India, dan Cina) dan booming komoditas menjadi target banjir likuiditas dari Amerika.
Inflasi di Indonesia saat ini adalah bagian fenomena global sebagai efek negatif kebijakan moneter longgar dari Amerika. Karena itu kenaikan BI Rate tidak akan efektif untuk memerangi inflasi. Lebih baik Bank Indonesia tidak melanjutkan kenaikan BI Rate. Apalagi kenaikan BI Rate hanya menambah beban pada ekonomi domestik dan memancing banjir aliran dana spekulatif jangka pendek.
Inflasi global akan mereda bila Amerika mulai menerapkan kebijakan moneter ketat dengan menaikkan Fed Fund Rate, minimal menjadi 4.00%. Kebijakan uang ketat terbukti efektif meredam spekulasi pada harga-harga aset. Pengetatan likuiditas di Amerika pada periode 2004-2006 menyebabkan pecahnya gelembung aset sektor properti. Sejak Q3 2007, pengetatan likuiditas di Cina telah membuat gelembung harga saham terpangkas sekitar 55%. Terakhir, kenaikan suku bunga Bank Sentral Euro menjadi 4.25% pada 3 Juli membantu meredam spekulasi di sektor komoditas.
Kami yakin Bank Sentral Amerika akhirnya terpaksa menerapkan kebijakan uang ketat dan menaikkan Fed Fund Rate. Baru lah inflasi global terkendali sejalan mengempisnya gelembung harga komoditas. Jangan heran bila harga minyak pun kembali jatuh di bawah US$ 100 per barel.
Monday, August 04, 2008
Boh Engkot
Call it caviar (~ beluga fish egg), but for me it just boh engkot (acehnese for “fish egg”).
In Aceh, fish egg culinary is famous. One type is like juicy soup (white and light yellow color), the other is spicy thick curry. I prefer the latter. Usually tuna fish is the source for the egg, but other big fish also okay (snapper or garoupa).
Since I stay in Jakarta, where to get fish egg cook???
Well, for aceh style you can find it in Seulawah, Aceh resto. Seulawah has two places, one in Tanah Abang, the second in Benhil street, near the hospital.
The next resto with fish egg menu is Chamoe2. I like chamoe2 in Panglima Polem. The cook is quite spicy with yellow color and a lot of herb (known as woku cook). My type of cook.
Another place you can try for fish egg is Medan Baru, mix of Aceh and Padang food, in Krekot Bunder. Fried fish egg. I just wondering, why the chef so lazy, downgrading fish egg the as same as the chicken egg. Have some effort, and admiration, for the fish egg!
The last one and I consider the most spicy, resto Minang “Duo Sekato”, at Setia Budi. The easy direction, come from Bundaran HI to Sudirman, take the slow lane, then turn left to Setiabudi Street. One hundred meters from Sudirman, or after the Church, you can find the small resto minang. It is not a cozy resto, but you must try the food. Then you know what is Minang cook (sorry for I do not fancy Sederhana as serious minang resto). The curry is thick, spicy, and full of excitement. Unfortunately, some time it is too salty. Its everyone favorite, so grab it in the early lunch time or you will not get your share.
During my trip to Kuala Lumpur, I have a chance to taste young fish egg cook in an Indian resto at Ong Tay Kim market, Gombak. The curry leave aroma and additional herb turn me on. The taste full of ectasy.
Two variations on how they cut the fish egg. In Aceh, usually the fish egg cook in whole, or slice it into two pieces. The other usually cut the fish egg into several small pieces (3~5 pieces) and turn the inside out. The first style have firm slice, the later have more interesting shape and the spice penetrate better.
The most important thing is: the fish must fresh, or the egg will very smelly and taste itchy in the tongue.
So try boh engkot and give me some feedback!
Related Link:
I love my coffee black and strong
Nasi Campur Bali
Ganja Sebagai Bumbu??
Monday, July 10, 2006
leaving aceh
My last post from my office in Banda Aceh. Actually I plan to post from Sigli office, but I forgot.
My 9 months experience in Aceh reconstruction project is great. A wonderful experience; big project, friendly and smart boss, and supportive colleagues. My first community development project, and will not my last. I’m dreaming to get back to similar position in the future.
But for now I need to feel the beat at financial sector, so I take this position at securities company. Hopefully something good happen.
Maybe in this new job I will post more in my blog, on economic issues for sure.
Tuesday, June 20, 2006
'economist' on the run?
By the end of my economic training at FEUI in 1996, unconsciously I apply everything on cost-benefit analysis and supply-demand principle. Rationality rules and market has it power on everything. Even if people behave irrationally, then there is always a way to rationalize the irrational behavior (or seem like it). While the market failure justify the present of government interference, the corrupt government always show how the bribery itself reflect the market works perfectly.
After finishing my master (in economic too), I have this great idea to become real economist: mean get PhD and write a lot of serious papers publish in international journal. Four years of trial and failure, I decide to stop the dream and cut loss.
Maybe my master degree good enough to be ‘acting economist’ (or pretend to be economist) or some thing like that. Well, in this country, popular writing seem to be more relevant rather than serious one in journal to claim to be an economist (just look all the name that people say economist in Indonesia, rarely they ever write in international academic journal).
Working in development job seems to be great too (Jan’02-Jun’06). Maybe I can apply this economic way of reasoning. Then in the middle of the way, when my career seems to go in the right fast-track, the temptation comes again.
Now its time to change my course once again. Answering my best friend offer to work for financial institution as analyst to support fixed income investment. A challenge that I cannot refuse. Just have to be sure whether the economic training really does something on me.
For sure, some feeling and empathy must be put into my heart so I can understand better economics as a social science rather than only cost-benefit analysis combine with ‘the market always work’ principle.